Haruskah Individu Berkebutuhan Khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB)
Pendidikan merupakan kebutuhan penting dalam perkembangan anak,
karena pendidikan merupakan salah satu wahana untuk membebaskan anak dari
keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Di Indonesia, Undang-Undang No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah
menegaskan bahwa: 1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu. 2. Warga negara yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus. 3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat
adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. 4. Warga
negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus. Khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), sejak tahun
1979 sudah ada sekolah umum yang menerima ABK untuk belajar bersama-sama dengan
anak normal lainnya karena orang tua menghendaki anak mereka mendapatkan
pelayanan pendidikan di sekolah umum, dan bukan di sekolah luar biasa (SLB).
Searah dengan perkembangan pendidikan baik di luar dan di dalam negeri, pada
tahun 2003 Dirjen Dikdasmen menerbitkan SE no. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20
Januari 2003 tentang pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa penyelenggaraan
dan pengembangan pendidikan inklusif di setiap kabupaten/kota
sekurang-kurangnya empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin hari semakin berkembang serta
perubahan yang cukup signifikan baik dari pemerintah, sekolah, siswa normal,
orang tua, dan masyarakat pada umumnya. Hal ini ditunjukan pemerintah melalui
berbagai kebijakan terkait penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus, serta penerimaan oleh sekolah dan masyarakat yang membuat anak
berkebutuhan khusus memiliki kesempatan lebih luas untuk memperoleh pendidikan
seperti anak normal lain, sehingga anak berkebutuhan khusus mampu mengembangkan
bakat, minat, potensi, yang dimiliki supaya tidak tergantung dengan orang lain (kemandirian). Perubahan yang dilakukan pemerintah dalam
sistem layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan dari segregasi, integrasi
hingga menjadi pendidikan inklusif merupakan upaya untuk mengentaskan program
wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah serta penghapusan
diskriminasi terhadap keberagaman dan perbedaan yang dimiliki setiap peserta
didik tanpa melihat perbedaan fisik, sosial, ekonomi maupun potensi anak dalam
satu sekolah. Pembahasan mengenai macam-macam layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus dibahas secara terperinci dalam makalah.
1.
Bentuk
Layanan Pendidikan Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang
terpisah dari sistem pendidikan anak reguler. Pendidikan anak berkebutuhan
khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan
yang dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan
untuk anak reguler. Dengan kata lain anak berkebutuhan kusus diberikan layanan
pendidikan pada pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus,
seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah
Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa. Sistem pendidikan
segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanaan,
sistem ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau keragaman terhadap
kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak reguler.
Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus
memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan
kebutuhan khusus mereka. Misalnya, untuk anak tuna netra, mereka memerlukan
layanan khusus berupa braille, orientasi mobilitas. Anak tuna rungu memerlukan
komunikasi total, bina persepsi bunyi: anak tuna daksa memerlukan layanan
mobilisasi dan aksesilbilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi
fisiknya.
Ada empat bentuk pelayanan pendidikan dengan sistem segregasi
yaitu:
a) Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua.
Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah
mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan
dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya
penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan
yang ada (satu kelainan saja) sehingga ada SLB untuk tuna netra (SLB-A), SLB
untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa
(SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan,
tingkat dasar dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem
individualisasi. Selain ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada
pula yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB
untuk Anak tuna rungu dan tuna grahita. SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tuna
netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Hal ini terjadi karena jjumlah
anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.
b) Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa
yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB bersrama tinggal di
asrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah,
sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat
lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama dengan
bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk tuna rungu
(SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB
untuk tuna laras (SLB-E), serta SLB AB untuk anak tuna netra dan tuna rungu. Pada
SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran yang ada di sekolah
dengan di asrama, sehingga asrama merupakan empat pembinaan setelah anak di
sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi
peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas
antar jemput.
c) Kelas Jauh / Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk
memeeberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh
dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh /kelas kunjung merupakan
kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta
pemerataan kesempatan belajar. Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh
pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih
sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas
jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang
bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka
berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan admistrasinya
dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
d) Sekolah Dasar Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan
khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang
dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tuna netra, tuna rungu, tuna
grahita, dan tuna daksa. Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala
sekolah, guru untuk tuna netra, guru untuk tuna rungu, guru untuk tuna grahita,
guru untuk tuna daksa, guru agama, dan guru olah raga. Selain tenga
kependidikan, di SDLB dilengkapi dengan tenaga ahli.yang berkaitan dengan
kelainan mereka, antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisioterapis,
psikolog, speech therapish, audiolog. Selian itu ada tenaga administrasi dan
penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikululum yang digunakan
di SLB untuk tingkat dasar yang disesuaikan dengan kekhususannya. Kegiatan
belajat dilakukan secara individual, kelompok dan klasikal sesuai dengan
ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan
individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di
SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak
tuna netra memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas;
anak tuna rungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total bina
persepsi bunyi dan irama; tuna grahita memperoleh layanan mengurus diri
sendiri; anak tuna daksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi
motorik. Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB
konvensional untuk tingkat dasar, yaitu anak tuna netra, tuna grahita, dan tuna
daksa selama 6 tahun, dan anak tuna rungu 8 tahun.
Sejalan
dengan perbaikan istem perundangan di RI yaitu UU RI no.2 tahun 1989 dan PPNo.72
Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa
terdiri dari:
a) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
dengan lama pendidikan minimal 6 tahun.
b) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun.
c) Seklah Menengah Luar Biasa (SMALB)
minimal 3 tahun.
Selain itu, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991 juga dimungkinkan penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun.
1.1.
Dasar Pendidikan Segregasi
Secara
etimologis istilah segregasi berasal dari kata segregate (diartikan memisahkan,
memencilkan) atau segregation (diartikan pemisahan). Para ilmuwan kita
mengartikan segregasi sebagai proses pemisahan suatu golongan dari golongan
lainnya; atau pengasingan; atau juga pengucilan. Berkaitan dengan ke-PLBan,
pendidikan segregasi adalah suatu system pendidikan bagi Anak Berkebutuhan
Khusus yang terpisah dari system pendidikan anak normal. System pendidikan
segregasi merupakan system layanan pendidikan bagi ABK tertua di tanah air
kita, bahkan berdiri sebelum Indonesia merdeka. Pemisahan yang terjadi bukan
sekedar tempat/lokasi, tetapi mencakup keseluruhan program penyelenggaraannya.
Layanan pendidikan semacam ini disebut layanan pendidikan bagi ABK melalui pemisahan
program penyelenggaraan pendidikan secara penuh dari program pendidikan
anakanak pada umumnya. Jika kita melihat sejarah, para pionir untuk pendidikan
segregasi ini seperti Maria Montessori, Edward Seguin, dan Itard, cara pandang
mereka terhadap anak berkelainan seperti layaknya 2 pasien. Cara pandang
seperti itu cukup beralasan karena mereka merupakan ahli medis. Dengan profesi
mereka, tentu saja pendekatan terhadap anak akan menggunakan pendekatan medis
pula. Oleh karena itulah anak-anak berkelainan dianggap sebagai orang yang
sakit. Dengan menganggap mereka sakit, maka pendekatan yang digunakan untuk
mereka yaitu diagnosa. Setelah mereka didiagnosa maka akan muncul label
penyakit. Dengan cara kerja seperti di atas, yang dibawa pada bidang pendidikan
maka ditemukanlah anak tunanetra bagi anak dengan gangguan penglihatan,
misalnya dan seterusnya.
Dengan kata lain, adanya diagnosis
memunculkan anak khusus (ALB), sekolah/tempat khusus (PLB) atau Special
Education, layanan pendidikan khusus, sesuai dengan labelnya yang akhirnya
memunculkan katagori-katagori anak. Sifat sekolah yang khusus inilah yang kita
sebut pendidikan segregasi. Jadi dalam pendidikan segregasi kebutuhan (needs)
anak tidak dilihat secara individu. Seiring disahkannya Undang-undang Pendidikan
Nasional (UUSPN) no. 2/1989, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah no. 72
tahun 1991, maka bentuk pendidikan regregasipun menyesuaikan diri; dimana,
terdapat dua cara untuk mendirikan dan membina sekolah-sekolah khusus yang
disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Sekolah
Luar Biasa (SLB) merupakan lembaga pendidikan yang dipersiapkan untuk menangani
dan memberikan pelayanan pendidikan secara khusus bagi penyandang jenis
kelainan tertentu.
Penyelenggaraan SLB maupun penyelenggaraan SDLB di
Indonesia berlandaskan pada UUD 1945, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional,
dan Peraturan Pemerintah tentang PLB. Disamping itu juga berdasarkan pada
landasan pedagogis, psikologis, maupun sosiologis. Landasan pedagogis, yaitu
dengan memberikan layanan pendidikan yang sitematis dan terarah, di mana
anak-anak berkelainan diharapkan dapat menjadi warga Negara atau anggota
masyarakat yang terampil dan mandiri, serta bertanggung jawab terhadap
kehidupan dan penghidupan, serta tidak terlalu menggantungkan diri terhadap
orang lain. Adapun yang menjadi landasan psikologis, adalah dengan pendidikan
yang baik kepada mereka dapat dikembangkan rasa percaya diri dan
hargadirinya.Denganlatihan serta pendidikan yang baik dapat mengatasi kelainannya,
sehingga kecacatan‟nya tidak dirasakan sebagai beban baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain. Sedangkan landasan sosiologisnya adalah meskipun mere
mengalami kelainan, namum mereka akan mampu bersosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya, bahkan dapat ikut serta secara aktif dalam bermasyarakat, dengan
demikian mereka memiliki status sebagai bagian dari anggota masyarakatdanwarganegara.
1.2
Sejarah Pendidikan Segregasi
Di Indonesia,
perkembangan layanan pendidikan ABK dapat dibedakan antara periode sebelum
kemerdekaan dan setelah merdeka. Perkembangan pada periode sebelum kemerdekaan,
upaya pertama dalam bidang PLB bersifat philantropis. Dorongan keinginan untuk
meringankan penderitaan orang-orang tuna, maka ada beberapa orang yang
mengambil inisiatif mendirikan suatu lembaga untuk orang- orang tuna. Upaya ini
dapat pula merupakan suatu lanjutan dari yang telah dilaksanakan di Nederland
oleh yayasan-yayasan social yang mendirikan cabangcabangnya di Indonesia. Saat
itu pemerintah Hindia Belanda mengakui system pendidikan dalam bentuk
pendidikan khususu untuk ABK, tetapi tidak banyak memberikan perhatian. Upaya
mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan ini diserahkan kepada inisiatif
masyarakat. Pemerintah tidak memberikan bantuan berupa materi. Pada tahun 1901,
dibukalah suatu lembaga pendidikan untuk anak tunanetra di Bandung atas
inisiatif Dr. Westhoff, seorang Belanda yang memberi modal pendirian lembaga
tersebut yang kemudian membentuk suatu yayasan untuk orang-orang tunanetra.
Usaha ini dimulai dengan mengumpulkan orang-orang tunanetra, baik dewasa maupun
anak-anak, ditampung disuatu tempat/asrama. Untuk memberikan kegiatan,
dibuatlah suatu bengkel kerja terbimbing, atau ‘Shetered
Workshop’. Kemudian dirasa perlu untuk membuka sekolah bagi anak-anak
tunanetra lainnya. Pada tahun 1961, lembaga swasta ini diserahkan ke Departemen
Sosial, pada tahun 1962 diserahkan pula ke Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, yang selanjutnya berubah menjadi Sekolah Luar Biasa Negeri. Lembaga
berikutnya dibuka sekolah untuk anak-anak tunagrahita di Bandung pada 31 Mei
1927 oleh „Vereniging Bijzonder Onderwijs’. Nama sekolah ini disebut
‘Folker School’. Tahun 1942 nama organisasi ini diubah menjadi
Perkumpulan Pengajaran Luar Biasa.
Pada tanggal 5 September 1950 pada zaman RIS namanya
diubah menjadi ‘Werk Voor Misdeelde Kinderen Indonesia’. Pada tanggal 11
September 1958 nama itu diubah menjadi Yayasan Dana Uphakara. Rumah Tangga
yayasan diperbaharui dengan persetujuan pengurus di Nederland. . Adapun PLB
bagi anak-anak tunadaksa, pada dasarnya tidak dapat terpisahkan dari sejarah
lahirnya YPAC. Akibat perang kemerdekaan banyak pejuang-pejuang yang menderita
luka dan cacat, untuk menolong mereka yang cacat, agar dapat kembali hidup
bermasyarakat. DR. Suahrso telah mendirikan Rehabilitasi Centrum (RC) di
Surakarta. Ternyata yang datang ke sana bukan saja mereka yang menderita tunadaksa
akibat perang, tetapi juga mereka yang kecelakaan. Selain itu mereka yang luka
bakar, cacat sejak lahir, bahkan kemudian anak-anak banyak yang berdatangan
untuk mendapatkan pertolongan. Jadi jelas, bahwa munculnya SLB bagi anak
tunadaksa adalah setelah Indonesia merdeka. Tepatnya pada tanggal 5 Pebruari
1953 didirikan Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat (YPAC) di Surakarta yang
diketuai oleh Ibu DR. Suharso. Kemudian disusul berdirinya perwakilan 2 YPAC di
Semarang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Jember, Palembang, Pangkal
Pinang, Menado, Medang, dan Ujung Pandang. Upaya yang mula-mula menuju pada
perawatan medis telah berkembang menjadi upaya rehabilitasi dan pendidikan yang
lengkap.
UUPP no. 12 tahun 1954 memuat ketentuan-ketentuan
tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa. Sejak saat ini pemerintah dan
masyarakat makin banyak mencurahkan perhatian terhadap pendidikan anak
berkelainan dari segala jenis. Demikian pula penyelenggaraan sekolah guru PLB
ditangani pemerintah, namun penyelenggaraan SLB sebagian besar dilaksanakan oleh
pihak swasta. Sekolah yang segregatif hanya memberikan layanan pendidikan
berdasarkan kelainan yang dilayani. Sekolah Luar Biasa Bagian A untuk melayani
penyandang tunanetra. Sekolah Luar Biasa Bagian B untuk melayani penyandang
tunarungu. Sekolah Luar Biasa Bagian C untuk melayani penyandang tunagrahita.
Sekolah Luar Biasa Bagian D untuk penyandang tunadaksa. Sekolah Luar Biasa
Bagian E untuk melayani penyandang tunalaras. Sekolah Luar Biasa Bagian G untuk
melayani penyandang tunaganda. Tahun 1984 merupakan tahun yang mempunyai arti
penting bagi dunia pendidikan di Indonesia, karena pada tahun itu pemerintah
mencanangkan wajib belajar 6 tahun. Hal ini berarti bahwa semua anak usia
sekolah harus menyelesaikan pendidikan minimal sampai dengan tingkat Sekolah
Dasar. Untuk menuntaskannya berbagai langkah dilakukan, misalnya mendirikan
sekolah-sekolah baru, Gerakan Kejar Paket A, Sekolah Kecil, dan Sekolah
Terbuka. Gerakan wajib belajar 6 tahun ini ternyata mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap perkembangan PLB di tanah air.Pada saat itu SLB-SLB masih
sangat terbatas sehingga tidak semua anak yang membutuhkan layanan dapat
ditampung. Selain itu penyebaran SLB tidak merata, yang sebagian besar hanya
ada dikota-kota besar. Begitu pula pengelolaannya, hamper semuanya dilakukan
oleh yayasan 12 suasta. Untuk mengatasi masalah ini langkah penting telah
diambil, yaitu dengan diperkenalkannya bentuk pendidikan yang baru, yaitu
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Berbeda dengan Sekolah Luar Biasa, Sekolah
Dasar Luar Biasa menyelenggarakan pendidikan dasar bagi semua jenis kecacatan
dalam suatu sekolah. Pada saat yang sama, Balitbangdikbud bekerjasama dengan
Dirjendikdasmen, Departemen Dalam Negeri, Depkes, Depsospol RI, IKIP Yogyakarta,
Fakultas Psikologi UI dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial
(DNIKS) melalui kelompok kerja PLB. Berdasarkan keputusan ketua Balitbangdikbud
nomor 1124/G1. 1/1 tentang pembentukan kelompok kerja pengembangan pendidikan
integrasi antar anak berkelainan bagi ALB tingkat Sekolah Dasar.
Selanjutnya dilakukan uji coba terbatas tentang
pendidikan bagi anak berkelainan di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Uji coba
diselenggarakan di desa Srengseng Sawah Pasar Minggu Jakarta Selatan dan di
desa Blanakan Kecamatan Ciasem Kabupaten Subang Jawa Barat. Uji coba tersebut
menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Didasarkan pada hasil uji coba, dengan
dana proyek Inpress pada akhir pelita III awal pelita IV (tahun 1984) didirikan
200 SDLB yang tersebar di 200 Kabupaten/Kotamadya yang belum mempunyai SLB sama
sekali. Jumlah SDLB bertambah menjadi 208 buah sekolah pada akhir Desember
1990. Sub Direktorat Pembinaan Luar Biasa (SUBDitPSLB) merupakan instansi
penyelenggara PLB di tinggkat pusat. Sub Direktorat Pembinaan Luar Biasa
merupakan bagian dari Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. SubDit PSLB
bertugas membina dan mengembangkan PLB (pendidikan bagi anak-anak
tuna/penyandang cacat) yang dalam UUSPN no. 2/1989 disebut anak berkelainan
fisik dan/atau mental. Layanan PLB sampai saat itu masih tetap menggunakan
system segregasi. Bagi anak-anak tunanetra disamping sistem segregasi, telah
mulai diperkenalkan sistemsekolah integrasi.Secara factual sampai saat ini
sistem segregasi masih tetap eksis.
Pelaksanaan layanan pendidikan segregasi atau sekolah
luar biasa, pada dasarnya dikembangkan berlandaskan UUSPN no. 2/1989 yang
bentuk pelaksanaannya diatur melalui pasal-pasal dari PP No. 72/91. Pasal 4
menyebutkan bahwa Satuan Pendidikan Dasar berupa Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), serta Satuan
Pendidikan Menengah adalah Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB). Berkenaan dengan
lamanya pendidikan dari tiap-tiap satuan pendidikan luar biasa sesuai dengan PP
no. 72 pasal 5, yaitu: a. Sekolah Dasar Luar Biasa sekurang-kurangnya enam
tahun b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa sekurang-kurangnya tiga
tahun c. Sekolah Menengah Luar Biasa sekurang-kurangnya tiga tahun Pada pasal 6
PP No. 72 tahun 1991 disebutkan bahwa untuk Taman Kanak-kanak Luar Biasa
lamanya pendidikan satu sampai tiga tahun. Dengan demikian maka jenjang dan
lamanya pendidikan sama dengan sekolah biasa. Mengenai kurikulum, sama dengan
kurikulum biasa tetapi boleh melakukan penyesuaian sesuai dengan jenis serta
tingkat kelainan yang dimiliki anak. Dengan kata lain dapat diasumsikan bahwa
TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB terdiri dari berbagai jenis sesuai dengan kelainan
masing-masng.
Berdasarkan PP no. 27 tahun 1991, jenjang dan lama
pendidikan dalam satuan PLB sama dengan sekolah biasa. Kurikulum yang dipakai,
juga kurikulum biasa dengan penyesuaian keterbatasan dan tingkat kelainan yang
dimiliki anak. Kurikulum yang digunakan di SLB yaitu kurikulum SLB tahun 1984
yang telah dibakukan dengan Surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
15 Sesuai dengan tuntutan masyarakat, perubahan kurikulum telah terjadi
beberapa kali yang akhirnya memunculkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang tersebut Pasal 32
dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, social, dan atau memililk potensi kecerdasan dan
bakat istimewa”. Adapun tujuan pendidika khusus mengacu pada pada tujuan
pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan
antara lain PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan.
Peraturan Pemerintah (PP) ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan
delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar
penilaian pendidikan.
Pada tanggal 23 Mei 2006, menteri Pendidikan Nasional
menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentan Standar Isi (SI) Nomor
22 Tahun 2006 dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Nomor 23 Tahun 2006 untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Kurikulum ini dikenal dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (KTSP). Untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan bagi pendidikan khusus, dikeluarkanlah Struktur Kurikulum Satuan
Pendidikan Khusus, yang dikembangkan dengan memperhatikan factor-faktor sebagai
berikut: (1) Kurikulum untuk peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan
kemampuan intelektual di bawah rata-rata, menggunakan sebutan kurikulum SDLBA,
B, D, E; SMPLBA, B, D, E; dan SMALBA, B, D, E (A = Tunanetra, B = Tunarungu, D
= Tunadaksa ringan, E = Tunalaras). 16 (2) Kurikulum untuk peserta didik
berkelainan yang disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata,
menggunakan sebutan Kurikulum SDLBC, C1, D1, G; SMPBC, C1, D1, G; SMALBC, C1,
D1, G; (C = Tunagrahita ringan, C1 = Tunagrahita sedang, dan D1 = Tunadaksa
sedang, G = Tunaganda). (3) Kurikulum satuan pendidikan SDLB A, B, D, E,
relative sama dengan kurikulum SD umum. Pada satuan pendidikan SMPLB A, B, D, E
dan SMALB A, B, D, E dirancang untuk peserta didik yang tidak memungkinkan
dan/atau tidak berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang
pendidikan tinggi. (4) Proporsi muatan isi kurikulum satuan pendidikan SMPLB A,
B , D, E, terdiri atas 60 %/70 % aspek akademik dan 40 %/30 % berisi aspek
keterampilan. Muatan isi kurikulum satuan pendidikan SMALB A, B, D, E terdiri
atas 40 %/50 % aspek akademik dan 60 %/50 % aspek keterampilan vokasional. (5)
Kurikulum satuan pendidikan SDLB, SMPLB, SMALB C, C1, D1, dan G, dirancang
sangat sederhana sesuai dengan batas-batas kemampuan peserta didik dan sifatnya
lebih individual. (6) Pembelajaran untuk satuan pendidikan SDLB, SMPLB, dan
SMALB C, C1, D1, dan G, menggunakan pendekatan tematik. (7) Standar kompetensi
(SK) dan kompetensi dasar (KD) mata pelajaran umum SDLB, SMPLB, SMALB A, B, D,
dan E mengacu kepada SK dan KD sekolah umum yang disesuaikan dengan kemampuan
dan kebutuhan khusus paserta didik, dikembangkan oleh BNSP, sedangkan SK dan KD
untuk mata pelajaran program khusus, dan keterampilan dikembangkan oleh satuan
pendidikan khusus dengan memperhatikan jenjang dan jenis satuan pendidikan. (8)
Pengembangan SK dan KD untuk semua mata pelajaran pada SDLB, SMPLB, dan SMALB
C, C1, D1, G diserahkan kepada satuan pendidikan 17 khusus yang bersangkutan
dengan mempertimbangkan tingkat dan jenis satuan pendidikan. (9) Struktur
kurikulum pada satuan pendidikan khusus SDLB dan SMPLB mengacu pada struktur
kurikulum SD dan SMP dengan penambahan program khusus sesuai jenis kelainan,
dengan alokasi waktu 2 jam per minggu. Untuk jenjang SMALB, program khusus
bersifat kasuistik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik tertentu
dan tidak dihitung sebagai beban belajar. (10) Program khusus sesuai jenis
kelainan peserta didik meliputi sebagai berikut; (a) Orientasi dan Mobilitas untuk
peserta didik Tunanetra (b) Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama untuk
peserta didik Tunarungu (c) Bina Diri untuk peserta didik Tunagrahita Ringan
dan Sedang (d) Bina Gerak untuk peserta didik Tunadaksa Ringan (e) Bina Pribadi
dan Sosial untuk peserta didik tunalaras (f) Bina Diri dan Bina Gerak untuk
peserta didik Tunadaksa Sedang dan Tunaganda.
Adapun begiatan
pembelajaran dapat dilakukan secara indinidual, kelompok, dan klasikal. Sistem
pengajarannya mengarah pada individualisasi pengajaran (individualized
instruction). Sebelum individualisasi pengajaran dilaksanakan, terlebih dahulu
dibuat rencana pengajaran yang diindividualisasikan (Individualized Education
Plan). Rencana pengajaran yang diindividualisasikan harus memuat tujuan
pembelajaran baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Selain berisi
tujuan, rencana program harus memuat prosedur dan layanan khusus yang
disediakan bagi anak, disamping evaluasi keberhasilan program. Program ini
dikembangkan dan diperbaharui setiap tahun. Rencana program dibuat oleh team
multidisiplin. Para professional yang terlibat selain ortopedagog yaitu;
psikolog, pediatris, optalmolog, neurolog, fisiatris, ortopedis, occupational
therapist, akhli terapi bicara, dan psikiater anak. 18 Sebelum IEP dibuat, terlebih
dahulu dilakukan assessmen yang lengkap berkaitan dengan pendidikan. Assessmen
berkaitan dengan tingkat kemampuan kognitif (IQ), emosi, dan adaptasi social
bagi semua anak. Disamping hal tersebut assessmen terhadap hal lain masih
diperlukan, sesuai dengan hambatan anak. Sebagai contoh, assessmen untuk anak
tunadaksa dilakukan untuk melihat kemampuan fisik dan motoriknya.
Berkaitan dengan lingkungan belajar, walaupun layanan
ini sifatnya segregasi, namun telah menjadi bahan pemikiran bahwa lingkungan
yang terbatas harus diminimalisir (least restrictive environment). Hal ini
mengandung pengertian bahwa, jika anak mampu menerima program pembelajaran pada
kelas biasa secara efektif maka anak harus ditempatkan di kelas biasa. Kondisi
anak yang berkelainan beratlah yang ada di sekolah khusus berasrama. Dengan
kondisi sekolah khusus dan berasrama maka lingkungan belajarnya menjadi
terbatas. Bagi anak-anak yang memiliki kelainan sedang, populasinya lebih
banyak bila dibandingkan dengan anak berkelainan berat. Mereka ditempatkan di
sekolah khusus dengan tidak diasramakan. Dengan kata lain, lingkungan belajar
mereka tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan asrama saja tetapi
dengan lingkungan masyarakat sekitar anak berada. Populasi yang terbanyak diduduki
oleh anak-anak dengan kelainan yang ringan, mereka bisa sekolah di sekolah
biasa dengan kelas khusus.
2.
Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu / Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk
belajar bersama-sama dengan anak regular belajar dalam satu atap. Sistem
pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem
pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan
dengan anak reguler. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian,
keterpaduan dalam rangka sosialisasi. Pada sistem keterpaduan secara penuh dan
sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari
jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya satu jenis
kelainan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding
jika guru harus melyani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan
khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat
berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak
berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai
pembimbing di ruang bimbingan khusus tau guru kelas pada kelas khusus. Ada 3
bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut adalah:
a) Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di
kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu,
sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang
studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam
melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini
sering juga disebut dengan keterpaduan penuh. Dalam keterpaduan ini, guru
pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru
kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai
konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun
permasalahan dalam mengajar anakcberkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu
disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa
ini tidak berbeda dengan yang digunakan dalam seolah umum. Tetapi, untuk
beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya, untuk
anak tuna netra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu
disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tuna rungu mata pelajaran kesenian,
bhasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara
anak.
b) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus, belajar di kelas
biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk
mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus
bersama dengan anak reguler. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang
bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan
pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut
di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk memberikan
latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna netra, di ruang
bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas.
Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.
c) Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti
pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada
sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini
disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat
sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi
sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara
penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian
yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan
sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan
yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi
pada waktu jam-jam istirahatatau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
3.
Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusif adalah salah satu program dari
kebijakan pemerintah untuk memberikan pelayanaan bagi anak berkebutuhan khusus
untuk menempuh pendidikan reguler seperti anak-anak normal lainnya. Untuk
menuntaskan wajib belajar sembilan tahun, maka perlu peningkatan perhatian
terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah reguler
(SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang belum
mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena
lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya, karena pada kenyataanya di dalam
masyarakat terdapat anak reguler dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat
dipisahkan sebagai suatu komunitas. Konsep dasar pendidikan inklusif
dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikut sertakan anak
berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler
yang dekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan
inklusif adalah memberikan kesempatan atas akses yang seluas-luasnya kepada
semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan
individu peserta didik tanpa diskriminasi. Pihak sekolah dituntut untuk
melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana prasarana pendidikan,
maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta
didik (Direktorat PLB, 2007: 4).
Para ahli pendidikan mengemukakan pendapat beragam
tentang pendidikan inklusif. Namun pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama.
Smith, J. David (2006: 45) berpendapat kata inklusi berasal dari bahasa Inggris
yaitu inclusion, istilah terbaru yang digunakan untuk mendeskripsikan
penyatuan bagi anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam
program-program sekolah. Inklusi juga dapat berarti bahwa tujuan pendidikan
bagi siswa yang memiliki hambatan adalah, keterlibatan dari tiap anak dalam
kehidupan sekolah yang menyeluruh. Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak
yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial, dan
konsep dari (visi misi) sekolah. Lay Kekeh Marthan (2007: 145) menyatakan bahwa
pendidikan inklusif adalah: a. Pendidikan inklusif merupakan layanan yang
memberikan kesempatan kepada semua anak untuk mendapatkan pendidikan disekolah
umum bersama anak lainnya. b. Pendidikan inklusif dilaksanakan dengan
memperhatikan kebutuhan masing-masing anak. c. Pendidikan inklusif merupakan
upaya untuk meningkatkan kualitas program pendidikan bagi semua peserta didik.
d. Pendidikan inklusif merupakan layanan yang tepat karena didasarkan pada
keunikan dan karakteristik individu. Dalam buku pedoman umum penyelenggaraan
pendidikan inklusif, pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari
pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusi setiap anak sesuai dengan kebutuhan
khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan
berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana
prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada
sistem penilaiannya.
Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak
sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta
didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan
(Direktorat PLB, 2007: 6). Stainback (Tarmansyah, 2007: 82) mengemukakan bahwa:
pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang
sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan
yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu,
sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi
bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman
sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat
terpenuhi. Selanjutnya menurut Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007: 83) menyatakan
bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan,
sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa
kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan,
apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu,
Sapon-Shevin dan O‟Neil (Tarmansyah, 2007: 83) menyatakan bahwa pendidikan
inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak
berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama
teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya perombakan sekolah,
sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap
anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua
pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
3.1 Tujuan Pendidikan Inklusif
Dalam buku pedoman umum penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan: a) Memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan
khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya. b)
Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar. c) Membantu
meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal
kelas dan putus sekolah. d) Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran. e)
Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi‟
setiap warga negara berhak mendapat pendidikan‟, dan ayat 2 yang berbunyi
„setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya‟. UU no.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps.
5 ayat 1 yang berbunyi‟setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu‟. UU no. 23/2002 tentang Perlindungan Anak,
khususnya Ps. 51 yang berbunyi ‟anak yang menyandang cacat fisik dan/mental
diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan
biasa dan pendidikan luar biasa‟‟ (Direktorat PLB, 2007: 10).
3.2
Kurikulum Pendidikan Inklusi
Kurikulum Anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus
harus memperoleh dukungan pembelajaran tambahan dalam konteks kurikulum
reguler, bukan kurikulum yang berbeda. Prinsip yang dijadikan pedoman adalah
memberikan bantuan dan dukungan tambahan bagi anak yang memerlukannya.
Kurikulum digunakan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang relefan, dengan
memperhatikan pluralitas kebutuhan indifidual setiap siswa. Bagi anak yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus, disediakan dukungan yang
berkesinambungan. Mulai dari bantuan minimal dikelas reguler, hingga program
pelajaran disekolah. Untuk layanan ketrampilan khusus, perlu staf pendukung
eksternal, antara lain:
speach therapist, dokter spesialis, okupasional therapist,
fisiotherapist, dan profesi lain yang terkait (Tarmansyah, 2007: 155).
Dalam buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif, kurikulum yang
digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan
kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam
hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi,
mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam
implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan)
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Modifikasi (penyelarasan)
kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang
kurikulum sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata
pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang
terkait (Direktorat PLB, 2007: 18).
Kurikulum menurut menurut Keputusan Kepala Dinas
Pendidikan Kota Yogyakarta yaitu satuan pendidikan penyelenggaraan pendidikan
inklusif menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi
kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, dan minatnya. d.
Monitoring dan Evaluasi Dalam buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan
inklusif. Kegiatan monitoring dimaksudkan untuk mengawal keterlaksanaan
penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Hasil monitoring dipergunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan mutu layanan pendidikan inklusif.
Materi monitoring meliputi aspek, manajemen, proses pendidikan, dan
pengembangan sekolah. Kegiatan monitoring dilaksanakan secara berkala, minimal
satu kali dalam satu tahun (Direktorat PLB, 2007: 31). Pembinaan, pengawasan,
dan evaluasi menurut Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta yaitu:
1) Pembinaan, pengawasan, evaluasi penyelenggaraan pendidikan inklusif
dilaksanakan oleh Dinas. 2) Pengawasan sekolah yang melaksanakan pendidikan
inklusif dilakukan oleh Pengawas Satuan Pendidikan, Pengawas Pendidikan Luar
Biasa (PLB), dan Pengawas Pendidikan Agama. 3) Laporan hasil evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Walikota. Evaluasi atau
penilaian dalam pelaksanaan pendidikan inklusif menurut buku panduan umum
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Menyatakan bahwa dalam penilaian dalam
setting inklusif ini mengacu pada model pengembangan kurikulum yang
dipergunakan, yaitu: 1) Apabila menggunakan model kurikulum reguler penuh, maka
penilaiannya menggunakan sistem penilaian yang berlaku pada sekolah reguler. 2)
Jika menggunakan model kurikulum reguler dengan modifikasi, maka penilaiannya
menggunakan sistem penilaian reguler yang telah dimodifikasi sekolah
disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa. 3) Apabila
menggunakan kurikulum PPI, maka penilaiannya bersifat individu dan didasarkan
pada kemampuan dasar (base line) (Direktorat PLB, 2007: 24).
3.3 Kriteria Efektivitas
Program
Untuk pengukuran tingkat efektivitas program sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif diperlukan karakteristik atau ciri-ciri bahwa
penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut berjalan secara efektif.
Penyusunan kriteria ini disesuaikan dengan konsep efektivitas dan acuan
efektivitas yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendarl Pendidikan Luar Biasa.
Karakteristik atau ciri-ciri efektivitas program sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif dikatakan efektif paling tidak jika memenuhi kriteria
efektivitas. Istilah “kriteria” dalam penilaian sering dikenal dengan kata
“tolok ukur” atau “standar” yaitu sesuatu yang digunakan sebagai patokan atau
batas minimal untuk sesuatu yang diukur (Suharsimi Arikunto dan Cepi Safaruddin
Abdul Jabar, 2009: 30). Sedangkan menurut William N. Dunn, (2003: 429)
menyatakan bahwa dengan kriteria keputusan dimaksudkan secara eksplisit sebagai
nilai-nilai yang dinyatakan yang melandasi rekomendasi untuk tindakan. Oleh
karena itu kriteria pendidikan inklusif mengacu pada buku panduan umum
penyelenggaraan pendidikan inklusif yang dikeluarkan oleh Direktorat PLB
(Direktorat PLB, 2007: 29). Sebagai kriteria sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif sebagai berikut: a) Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program
pendidikan inklusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan
orang tua) b)Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah c)
Tersedia guru pendidikan khusus (GPK) dari PLB (guru tetap sekolah atau guru
yang diperbantukan dari lembaga lain) d) Komitmen terhadap penuntasan wajib
belajar e) Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan f)
Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak g) Pihak sekolah
telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusif h) Sekolah tersebut
telah terakreditasi i) Memenuhi prosedur administrasi yang ditentukan.
4.
Perbedaan Pendidikan Segregasi, Pendidikan Terpadu, dan
Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif hanya merupakan salah satu model
penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Model yang lain
diantaranya adalah sekolah segregasi dan pendidikan terpadu. Perbedaan ketiga
model tersebut dapat diringkas sebagai berikut.
a. Pendidikan segregasi Pendidikan segregasi adalah
sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan
reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan
khusus atau 21 Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik.
Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C
(untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak
tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang
TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem
pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di
sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana
prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari
sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak
kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
b. Pendidikan terpadu Pendidikan terpadu adalah sekolah
yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk
mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang
disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan
kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem
pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu
mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta
didik itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di
sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus
menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah 22 reguler. Kelemahan
dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan
khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak.
Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di
lingkungan sosial yang luas dan wajar.
c. Pendidikan
inklusif Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan
terpadu. Pada pendidikan inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan
khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan
berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana
prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada
sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak
sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta
didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan.
Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa
dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan
sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai
potensinya masingmasing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah
pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang,
sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan
individual tanpa diskriminasi (Direktorat PLB, 2007: 4-6).