Kamis, 28 Januari 2021

Haruskah Individu Berkebutuhan Khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB)

 

 
Dimana Saja Individu Berkebutuhan Khusus Bisa Mendapatkan Layanan Pendidikan?

Pendidikan merupakan kebutuhan penting dalam perkembangan anak, karena pendidikan merupakan salah satu wahana untuk membebaskan anak dari keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Di Indonesia, Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah menegaskan bahwa: 1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. 2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. 3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. 4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), sejak tahun 1979 sudah ada sekolah umum yang menerima ABK untuk belajar bersama-sama dengan anak normal lainnya karena orang tua menghendaki anak mereka mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah umum, dan bukan di sekolah luar biasa (SLB). Searah dengan perkembangan pendidikan baik di luar dan di dalam negeri, pada tahun 2003 Dirjen Dikdasmen menerbitkan SE no. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin hari semakin berkembang serta perubahan yang cukup signifikan baik dari pemerintah, sekolah, siswa normal, orang tua, dan masyarakat pada umumnya. Hal ini ditunjukan pemerintah melalui berbagai kebijakan terkait penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, serta penerimaan oleh sekolah dan masyarakat yang membuat anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan lebih luas untuk memperoleh pendidikan seperti anak normal lain, sehingga anak berkebutuhan khusus mampu mengembangkan bakat, minat, potensi, yang dimiliki supaya tidak tergantung dengan orang lain (kemandirian).  Perubahan yang dilakukan pemerintah dalam sistem layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan dari segregasi, integrasi hingga menjadi pendidikan inklusif merupakan upaya untuk mengentaskan program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah serta penghapusan diskriminasi terhadap keberagaman dan perbedaan yang dimiliki setiap peserta didik tanpa melihat perbedaan fisik, sosial, ekonomi maupun potensi anak dalam satu sekolah. Pembahasan mengenai macam-macam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dibahas secara terperinci dalam makalah.

1.                   Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi

Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak reguler. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak reguler. Dengan kata lain anak berkebutuhan kusus diberikan layanan pendidikan pada pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa. Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau keragaman terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak reguler. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, untuk anak tuna netra, mereka memerlukan layanan khusus berupa braille, orientasi mobilitas. Anak tuna rungu memerlukan komunikasi total, bina persepsi bunyi: anak tuna daksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesilbilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya.

Ada empat bentuk pelayanan pendidikan dengan sistem segregasi yaitu:

a)      Sekolah Luar Biasa (SLB)

Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja) sehingga ada SLB untuk tuna netra (SLB-A), SLB untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Selain ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk Anak tuna rungu dan tuna grahita. SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Hal ini terjadi karena jjumlah anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.

b)      Sekolah Luar Biasa Berasrama

Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB bersrama tinggal di asrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E), serta SLB AB untuk anak tuna netra dan tuna rungu. Pada SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan empat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.

c)      Kelas Jauh / Kelas Kunjung

Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memeeberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh /kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan admistrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.

d)     Sekolah Dasar Luar Biasa

Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk tuna netra, guru untuk tuna rungu, guru untuk tuna grahita, guru untuk tuna daksa, guru agama, dan guru olah raga. Selain tenga kependidikan, di SDLB dilengkapi dengan tenaga ahli.yang berkaitan dengan kelainan mereka, antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisioterapis, psikolog, speech therapish, audiolog. Selian itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.

Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikululum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuaikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajat dilakukan secara individual, kelompok dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tuna netra memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas; anak tuna rungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total bina persepsi bunyi dan irama; tuna grahita memperoleh layanan mengurus diri sendiri; anak tuna daksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik. Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB konvensional untuk tingkat dasar, yaitu anak tuna netra, tuna grahita, dan tuna daksa selama 6 tahun, dan anak tuna rungu 8 tahun.

            Sejalan dengan perbaikan istem perundangan di RI yaitu UU RI no.2 tahun 1989 dan PPNo.72 Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:

a)     Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun.

b)     Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun.

c)     Seklah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun.

Selain itu, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991 juga dimungkinkan penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun.

 

1.1.            Dasar Pendidikan Segregasi

 Secara etimologis istilah segregasi berasal dari kata segregate (diartikan memisahkan, memencilkan) atau segregation (diartikan pemisahan). Para ilmuwan kita mengartikan segregasi sebagai proses pemisahan suatu golongan dari golongan lainnya; atau pengasingan; atau juga pengucilan. Berkaitan dengan ke-PLBan, pendidikan segregasi adalah suatu system pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus yang terpisah dari system pendidikan anak normal. System pendidikan segregasi merupakan system layanan pendidikan bagi ABK tertua di tanah air kita, bahkan berdiri sebelum Indonesia merdeka. Pemisahan yang terjadi bukan sekedar tempat/lokasi, tetapi mencakup keseluruhan program penyelenggaraannya. Layanan pendidikan semacam ini disebut layanan pendidikan bagi ABK melalui pemisahan program penyelenggaraan pendidikan secara penuh dari program pendidikan anakanak pada umumnya. Jika kita melihat sejarah, para pionir untuk pendidikan segregasi ini seperti Maria Montessori, Edward Seguin, dan Itard, cara pandang mereka terhadap anak berkelainan seperti layaknya 2 pasien. Cara pandang seperti itu cukup beralasan karena mereka merupakan ahli medis. Dengan profesi mereka, tentu saja pendekatan terhadap anak akan menggunakan pendekatan medis pula. Oleh karena itulah anak-anak berkelainan dianggap sebagai orang yang sakit. Dengan menganggap mereka sakit, maka pendekatan yang digunakan untuk mereka yaitu diagnosa. Setelah mereka didiagnosa maka akan muncul label penyakit. Dengan cara kerja seperti di atas, yang dibawa pada bidang pendidikan maka ditemukanlah anak tunanetra bagi anak dengan gangguan penglihatan, misalnya dan seterusnya.

            Dengan kata lain, adanya diagnosis memunculkan anak khusus (ALB), sekolah/tempat khusus (PLB) atau Special Education, layanan pendidikan khusus, sesuai dengan labelnya yang akhirnya memunculkan katagori-katagori anak. Sifat sekolah yang khusus inilah yang kita sebut pendidikan segregasi. Jadi dalam pendidikan segregasi kebutuhan (needs) anak tidak dilihat secara individu. Seiring disahkannya Undang-undang Pendidikan Nasional (UUSPN) no. 2/1989, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah no. 72 tahun 1991, maka bentuk pendidikan regregasipun menyesuaikan diri; dimana, terdapat dua cara untuk mendirikan dan membina sekolah-sekolah khusus yang disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan lembaga pendidikan yang dipersiapkan untuk menangani dan memberikan pelayanan pendidikan secara khusus bagi penyandang jenis kelainan tertentu.

Penyelenggaraan SLB maupun penyelenggaraan SDLB di Indonesia berlandaskan pada UUD 1945, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah tentang PLB. Disamping itu juga berdasarkan pada landasan pedagogis, psikologis, maupun sosiologis. Landasan pedagogis, yaitu dengan memberikan layanan pendidikan yang sitematis dan terarah, di mana anak-anak berkelainan diharapkan dapat menjadi warga Negara atau anggota masyarakat yang terampil dan mandiri, serta bertanggung jawab terhadap kehidupan dan penghidupan, serta tidak terlalu menggantungkan diri terhadap orang lain. Adapun yang menjadi landasan psikologis, adalah dengan pendidikan yang baik kepada mereka dapat dikembangkan rasa percaya diri dan hargadirinya.Denganlatihan serta pendidikan yang baik dapat mengatasi kelainannya, sehingga kecacatan‟nya tidak dirasakan sebagai beban baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Sedangkan landasan sosiologisnya adalah meskipun mere mengalami kelainan, namum mereka akan mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, bahkan dapat ikut serta secara aktif dalam bermasyarakat, dengan demikian mereka memiliki status sebagai bagian dari anggota masyarakatdanwarganegara.

1.2              Sejarah Pendidikan Segregasi

 Di Indonesia, perkembangan layanan pendidikan ABK dapat dibedakan antara periode sebelum kemerdekaan dan setelah merdeka. Perkembangan pada periode sebelum kemerdekaan, upaya pertama dalam bidang PLB bersifat philantropis. Dorongan keinginan untuk meringankan penderitaan orang-orang tuna, maka ada beberapa orang yang mengambil inisiatif mendirikan suatu lembaga untuk orang- orang tuna. Upaya ini dapat pula merupakan suatu lanjutan dari yang telah dilaksanakan di Nederland oleh yayasan-yayasan social yang mendirikan cabangcabangnya di Indonesia. Saat itu pemerintah Hindia Belanda mengakui system pendidikan dalam bentuk pendidikan khususu untuk ABK, tetapi tidak banyak memberikan perhatian. Upaya mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan ini diserahkan kepada inisiatif masyarakat. Pemerintah tidak memberikan bantuan berupa materi. Pada tahun 1901, dibukalah suatu lembaga pendidikan untuk anak tunanetra di Bandung atas inisiatif Dr. Westhoff, seorang Belanda yang memberi modal pendirian lembaga tersebut yang kemudian membentuk suatu yayasan untuk orang-orang tunanetra. Usaha ini dimulai dengan mengumpulkan orang-orang tunanetra, baik dewasa maupun anak-anak, ditampung disuatu tempat/asrama. Untuk memberikan kegiatan, dibuatlah suatu bengkel kerja terbimbing, atau ‘Shetered
Workshop’. Kemudian dirasa perlu untuk membuka sekolah bagi anak-anak tunanetra lainnya. Pada tahun 1961, lembaga swasta ini diserahkan ke Departemen Sosial, pada tahun 1962 diserahkan pula ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang selanjutnya berubah menjadi Sekolah Luar Biasa Negeri. Lembaga berikutnya dibuka sekolah untuk anak-anak tunagrahita di Bandung pada 31 Mei 1927 oleh „Vereniging Bijzonder Onderwijs’. Nama sekolah ini disebut
‘Folker School’. Tahun 1942 nama organisasi ini diubah menjadi Perkumpulan Pengajaran Luar Biasa.

Pada tanggal 5 September 1950 pada zaman RIS namanya diubah menjadi ‘Werk Voor Misdeelde Kinderen Indonesia’. Pada tanggal 11 September 1958 nama itu diubah menjadi Yayasan Dana Uphakara. Rumah Tangga yayasan diperbaharui dengan persetujuan pengurus di Nederland. . Adapun PLB bagi anak-anak tunadaksa, pada dasarnya tidak dapat terpisahkan dari sejarah lahirnya YPAC. Akibat perang kemerdekaan banyak pejuang-pejuang yang menderita luka dan cacat, untuk menolong mereka yang cacat, agar dapat kembali hidup bermasyarakat. DR. Suahrso telah mendirikan Rehabilitasi Centrum (RC) di Surakarta. Ternyata yang datang ke sana bukan saja mereka yang menderita tunadaksa akibat perang, tetapi juga mereka yang kecelakaan. Selain itu mereka yang luka bakar, cacat sejak lahir, bahkan kemudian anak-anak banyak yang berdatangan untuk mendapatkan pertolongan. Jadi jelas, bahwa munculnya SLB bagi anak tunadaksa adalah setelah Indonesia merdeka. Tepatnya pada tanggal 5 Pebruari 1953 didirikan Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat (YPAC) di Surakarta yang diketuai oleh Ibu DR. Suharso. Kemudian disusul berdirinya perwakilan 2 YPAC di Semarang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Jember, Palembang, Pangkal Pinang, Menado, Medang, dan Ujung Pandang. Upaya yang mula-mula menuju pada perawatan medis telah berkembang menjadi upaya rehabilitasi dan pendidikan yang lengkap.

UUPP no. 12 tahun 1954 memuat ketentuan-ketentuan tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa. Sejak saat ini pemerintah dan masyarakat makin banyak mencurahkan perhatian terhadap pendidikan anak berkelainan dari segala jenis. Demikian pula penyelenggaraan sekolah guru PLB ditangani pemerintah, namun penyelenggaraan SLB sebagian besar dilaksanakan oleh pihak swasta. Sekolah yang segregatif hanya memberikan layanan pendidikan berdasarkan kelainan yang dilayani. Sekolah Luar Biasa Bagian A untuk melayani penyandang tunanetra. Sekolah Luar Biasa Bagian B untuk melayani penyandang tunarungu. Sekolah Luar Biasa Bagian C untuk melayani penyandang tunagrahita. Sekolah Luar Biasa Bagian D untuk penyandang tunadaksa. Sekolah Luar Biasa Bagian E untuk melayani penyandang tunalaras. Sekolah Luar Biasa Bagian G untuk melayani penyandang tunaganda. Tahun 1984 merupakan tahun yang mempunyai arti penting bagi dunia pendidikan di Indonesia, karena pada tahun itu pemerintah mencanangkan wajib belajar 6 tahun. Hal ini berarti bahwa semua anak usia sekolah harus menyelesaikan pendidikan minimal sampai dengan tingkat Sekolah Dasar. Untuk menuntaskannya berbagai langkah dilakukan, misalnya mendirikan sekolah-sekolah baru, Gerakan Kejar Paket A, Sekolah Kecil, dan Sekolah Terbuka. Gerakan wajib belajar 6 tahun ini ternyata mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan PLB di tanah air.Pada saat itu SLB-SLB masih sangat terbatas sehingga tidak semua anak yang membutuhkan layanan dapat ditampung. Selain itu penyebaran SLB tidak merata, yang sebagian besar hanya ada dikota-kota besar. Begitu pula pengelolaannya, hamper semuanya dilakukan oleh yayasan 12 suasta. Untuk mengatasi masalah ini langkah penting telah diambil, yaitu dengan diperkenalkannya bentuk pendidikan yang baru, yaitu Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Berbeda dengan Sekolah Luar Biasa, Sekolah Dasar Luar Biasa menyelenggarakan pendidikan dasar bagi semua jenis kecacatan dalam suatu sekolah. Pada saat yang sama, Balitbangdikbud bekerjasama dengan Dirjendikdasmen, Departemen Dalam Negeri, Depkes, Depsospol RI, IKIP Yogyakarta, Fakultas Psikologi UI dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) melalui kelompok kerja PLB. Berdasarkan keputusan ketua Balitbangdikbud nomor 1124/G1. 1/1 tentang pembentukan kelompok kerja pengembangan pendidikan integrasi antar anak berkelainan bagi ALB tingkat Sekolah Dasar.

Selanjutnya dilakukan uji coba terbatas tentang pendidikan bagi anak berkelainan di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Uji coba diselenggarakan di desa Srengseng Sawah Pasar Minggu Jakarta Selatan dan di desa Blanakan Kecamatan Ciasem Kabupaten Subang Jawa Barat. Uji coba tersebut menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Didasarkan pada hasil uji coba, dengan dana proyek Inpress pada akhir pelita III awal pelita IV (tahun 1984) didirikan 200 SDLB yang tersebar di 200 Kabupaten/Kotamadya yang belum mempunyai SLB sama sekali. Jumlah SDLB bertambah menjadi 208 buah sekolah pada akhir Desember 1990. Sub Direktorat Pembinaan Luar Biasa (SUBDitPSLB) merupakan instansi penyelenggara PLB di tinggkat pusat. Sub Direktorat Pembinaan Luar Biasa merupakan bagian dari Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. SubDit PSLB bertugas membina dan mengembangkan PLB (pendidikan bagi anak-anak tuna/penyandang cacat) yang dalam UUSPN no. 2/1989 disebut anak berkelainan fisik dan/atau mental. Layanan PLB sampai saat itu masih tetap menggunakan system segregasi. Bagi anak-anak tunanetra disamping sistem segregasi, telah mulai diperkenalkan sistemsekolah integrasi.Secara factual sampai saat ini sistem segregasi masih tetap eksis.

Pelaksanaan layanan pendidikan segregasi atau sekolah luar biasa, pada dasarnya dikembangkan berlandaskan UUSPN no. 2/1989 yang bentuk pelaksanaannya diatur melalui pasal-pasal dari PP No. 72/91. Pasal 4 menyebutkan bahwa Satuan Pendidikan Dasar berupa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), serta Satuan Pendidikan Menengah adalah Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB). Berkenaan dengan lamanya pendidikan dari tiap-tiap satuan pendidikan luar biasa sesuai dengan PP no. 72 pasal 5, yaitu: a. Sekolah Dasar Luar Biasa sekurang-kurangnya enam tahun b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa sekurang-kurangnya tiga tahun c. Sekolah Menengah Luar Biasa sekurang-kurangnya tiga tahun Pada pasal 6 PP No. 72 tahun 1991 disebutkan bahwa untuk Taman Kanak-kanak Luar Biasa lamanya pendidikan satu sampai tiga tahun. Dengan demikian maka jenjang dan lamanya pendidikan sama dengan sekolah biasa. Mengenai kurikulum, sama dengan kurikulum biasa tetapi boleh melakukan penyesuaian sesuai dengan jenis serta tingkat kelainan yang dimiliki anak. Dengan kata lain dapat diasumsikan bahwa TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB terdiri dari berbagai jenis sesuai dengan kelainan masing-masng.

Berdasarkan PP no. 27 tahun 1991, jenjang dan lama pendidikan dalam satuan PLB sama dengan sekolah biasa. Kurikulum yang dipakai, juga kurikulum biasa dengan penyesuaian keterbatasan dan tingkat kelainan yang dimiliki anak. Kurikulum yang digunakan di SLB yaitu kurikulum SLB tahun 1984 yang telah dibakukan dengan Surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 15 Sesuai dengan tuntutan masyarakat, perubahan kurikulum telah terjadi beberapa kali yang akhirnya memunculkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang tersebut Pasal 32 dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, social, dan atau memililk potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Adapun tujuan pendidika khusus mengacu pada pada tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah (PP) ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Pada tanggal 23 Mei 2006, menteri Pendidikan Nasional menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentan Standar Isi (SI) Nomor 22 Tahun 2006 dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Nomor 23 Tahun 2006 untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Kurikulum ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (KTSP). Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan bagi pendidikan khusus, dikeluarkanlah Struktur Kurikulum Satuan Pendidikan Khusus, yang dikembangkan dengan memperhatikan factor-faktor sebagai berikut: (1) Kurikulum untuk peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, menggunakan sebutan kurikulum SDLBA, B, D, E; SMPLBA, B, D, E; dan SMALBA, B, D, E (A = Tunanetra, B = Tunarungu, D = Tunadaksa ringan, E = Tunalaras). 16 (2) Kurikulum untuk peserta didik berkelainan yang disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, menggunakan sebutan Kurikulum SDLBC, C1, D1, G; SMPBC, C1, D1, G; SMALBC, C1, D1, G; (C = Tunagrahita ringan, C1 = Tunagrahita sedang, dan D1 = Tunadaksa sedang, G = Tunaganda). (3) Kurikulum satuan pendidikan SDLB A, B, D, E, relative sama dengan kurikulum SD umum. Pada satuan pendidikan SMPLB A, B, D, E dan SMALB A, B, D, E dirancang untuk peserta didik yang tidak memungkinkan dan/atau tidak berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi. (4) Proporsi muatan isi kurikulum satuan pendidikan SMPLB A, B , D, E, terdiri atas 60 %/70 % aspek akademik dan 40 %/30 % berisi aspek keterampilan. Muatan isi kurikulum satuan pendidikan SMALB A, B, D, E terdiri atas 40 %/50 % aspek akademik dan 60 %/50 % aspek keterampilan vokasional. (5) Kurikulum satuan pendidikan SDLB, SMPLB, SMALB C, C1, D1, dan G, dirancang sangat sederhana sesuai dengan batas-batas kemampuan peserta didik dan sifatnya lebih individual. (6) Pembelajaran untuk satuan pendidikan SDLB, SMPLB, dan SMALB C, C1, D1, dan G, menggunakan pendekatan tematik. (7) Standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) mata pelajaran umum SDLB, SMPLB, SMALB A, B, D, dan E mengacu kepada SK dan KD sekolah umum yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan khusus paserta didik, dikembangkan oleh BNSP, sedangkan SK dan KD untuk mata pelajaran program khusus, dan keterampilan dikembangkan oleh satuan pendidikan khusus dengan memperhatikan jenjang dan jenis satuan pendidikan. (8) Pengembangan SK dan KD untuk semua mata pelajaran pada SDLB, SMPLB, dan SMALB C, C1, D1, G diserahkan kepada satuan pendidikan 17 khusus yang bersangkutan dengan mempertimbangkan tingkat dan jenis satuan pendidikan. (9) Struktur kurikulum pada satuan pendidikan khusus SDLB dan SMPLB mengacu pada struktur kurikulum SD dan SMP dengan penambahan program khusus sesuai jenis kelainan, dengan alokasi waktu 2 jam per minggu. Untuk jenjang SMALB, program khusus bersifat kasuistik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik tertentu dan tidak dihitung sebagai beban belajar. (10) Program khusus sesuai jenis kelainan peserta didik meliputi sebagai berikut; (a) Orientasi dan Mobilitas untuk peserta didik Tunanetra (b) Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama untuk peserta didik Tunarungu (c) Bina Diri untuk peserta didik Tunagrahita Ringan dan Sedang (d) Bina Gerak untuk peserta didik Tunadaksa Ringan (e) Bina Pribadi dan Sosial untuk peserta didik tunalaras (f) Bina Diri dan Bina Gerak untuk peserta didik Tunadaksa Sedang dan Tunaganda.

 Adapun begiatan pembelajaran dapat dilakukan secara indinidual, kelompok, dan klasikal. Sistem pengajarannya mengarah pada individualisasi pengajaran (individualized instruction). Sebelum individualisasi pengajaran dilaksanakan, terlebih dahulu dibuat rencana pengajaran yang diindividualisasikan (Individualized Education Plan). Rencana pengajaran yang diindividualisasikan harus memuat tujuan pembelajaran baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Selain berisi tujuan, rencana program harus memuat prosedur dan layanan khusus yang disediakan bagi anak, disamping evaluasi keberhasilan program. Program ini dikembangkan dan diperbaharui setiap tahun. Rencana program dibuat oleh team multidisiplin. Para professional yang terlibat selain ortopedagog yaitu; psikolog, pediatris, optalmolog, neurolog, fisiatris, ortopedis, occupational therapist, akhli terapi bicara, dan psikiater anak. 18 Sebelum IEP dibuat, terlebih dahulu dilakukan assessmen yang lengkap berkaitan dengan pendidikan. Assessmen berkaitan dengan tingkat kemampuan kognitif (IQ), emosi, dan adaptasi social bagi semua anak. Disamping hal tersebut assessmen terhadap hal lain masih diperlukan, sesuai dengan hambatan anak. Sebagai contoh, assessmen untuk anak tunadaksa dilakukan untuk melihat kemampuan fisik dan motoriknya.

Berkaitan dengan lingkungan belajar, walaupun layanan ini sifatnya segregasi, namun telah menjadi bahan pemikiran bahwa lingkungan yang terbatas harus diminimalisir (least restrictive environment). Hal ini mengandung pengertian bahwa, jika anak mampu menerima program pembelajaran pada kelas biasa secara efektif maka anak harus ditempatkan di kelas biasa. Kondisi anak yang berkelainan beratlah yang ada di sekolah khusus berasrama. Dengan kondisi sekolah khusus dan berasrama maka lingkungan belajarnya menjadi terbatas. Bagi anak-anak yang memiliki kelainan sedang, populasinya lebih banyak bila dibandingkan dengan anak berkelainan berat. Mereka ditempatkan di sekolah khusus dengan tidak diasramakan. Dengan kata lain, lingkungan belajar mereka tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan asrama saja tetapi dengan lingkungan masyarakat sekitar anak berada. Populasi yang terbanyak diduduki oleh anak-anak dengan kelainan yang ringan, mereka bisa sekolah di sekolah biasa dengan kelas khusus.

2.       Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu / Integrasi

Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak regular belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak reguler. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka sosialisasi. Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melyani berbagai macam kelainan.

Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus tau guru kelas pada kelas khusus. Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut adalah:

a)  Bentuk Kelas Biasa

Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anakcberkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.

Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan dalam seolah umum. Tetapi, untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya, untuk anak tuna netra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tuna rungu mata pelajaran kesenian, bhasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak.

b) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus

Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus, belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak reguler. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna netra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.

c) Bentuk Kelas Khusus

Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahatatau acara lain yang diadakan oleh sekolah.

3.      Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusif adalah salah satu program dari kebijakan pemerintah untuk memberikan pelayanaan bagi anak berkebutuhan khusus untuk menempuh pendidikan reguler seperti anak-anak normal lainnya. Untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun, maka perlu peningkatan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang belum mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya, karena pada kenyataanya di dalam masyarakat terdapat anak reguler dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Konsep dasar pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang dekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atas akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi. Pihak sekolah dituntut untuk melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PLB, 2007: 4).

Para ahli pendidikan mengemukakan pendapat beragam tentang pendidikan inklusif. Namun pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama. Smith, J. David (2006: 45) berpendapat kata inklusi berasal dari bahasa Inggris yaitu inclusion, istilah terbaru yang digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah. Inklusi juga dapat berarti bahwa tujuan pendidikan bagi siswa yang memiliki hambatan adalah, keterlibatan dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang menyeluruh. Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial, dan konsep dari (visi misi) sekolah. Lay Kekeh Marthan (2007: 145) menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah: a. Pendidikan inklusif merupakan layanan yang memberikan kesempatan kepada semua anak untuk mendapatkan pendidikan disekolah umum bersama anak lainnya. b. Pendidikan inklusif dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan masing-masing anak. c. Pendidikan inklusif merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas program pendidikan bagi semua peserta didik. d. Pendidikan inklusif merupakan layanan yang tepat karena didasarkan pada keunikan dan karakteristik individu. Dalam buku pedoman umum penyelenggaraan pendidikan inklusif, pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusi setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.

Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan (Direktorat PLB, 2007: 6). Stainback (Tarmansyah, 2007: 82) mengemukakan bahwa: pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Selanjutnya menurut Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007: 83) menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-Shevin dan O‟Neil (Tarmansyah, 2007: 83) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.

3.1 Tujuan Pendidikan Inklusif

Dalam buku pedoman umum penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan: a) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya. b) Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar. c) Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah. d) Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran. e) Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi‟ setiap warga negara berhak mendapat pendidikan‟, dan ayat 2 yang berbunyi „setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya‟. UU no.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi‟setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu‟. UU no. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ‟anak yang menyandang cacat fisik dan/mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa‟‟ (Direktorat PLB, 2007: 10).

3.2              Kurikulum Pendidikan Inklusi

Kurikulum Anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus harus memperoleh dukungan pembelajaran tambahan dalam konteks kurikulum reguler, bukan kurikulum yang berbeda. Prinsip yang dijadikan pedoman adalah memberikan bantuan dan dukungan tambahan bagi anak yang memerlukannya. Kurikulum digunakan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang relefan, dengan memperhatikan pluralitas kebutuhan indifidual setiap siswa. Bagi anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus, disediakan dukungan yang berkesinambungan. Mulai dari bantuan minimal dikelas reguler, hingga program pelajaran disekolah. Untuk layanan ketrampilan khusus, perlu staf pendukung eksternal, antara lain:
speach therapist, dokter spesialis, okupasional therapist, fisiotherapist, dan profesi lain yang terkait (Tarmansyah, 2007: 155). Dalam buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif, kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait (Direktorat PLB, 2007: 18).

Kurikulum menurut menurut Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta yaitu satuan pendidikan penyelenggaraan pendidikan inklusif menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, dan minatnya. d. Monitoring dan Evaluasi Dalam buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kegiatan monitoring dimaksudkan untuk mengawal keterlaksanaan penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Hasil monitoring dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan mutu layanan pendidikan inklusif. Materi monitoring meliputi aspek, manajemen, proses pendidikan, dan pengembangan sekolah. Kegiatan monitoring dilaksanakan secara berkala, minimal satu kali dalam satu tahun (Direktorat PLB, 2007: 31). Pembinaan, pengawasan, dan evaluasi menurut Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta yaitu: 1) Pembinaan, pengawasan, evaluasi penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan oleh Dinas. 2) Pengawasan sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif dilakukan oleh Pengawas Satuan Pendidikan, Pengawas Pendidikan Luar Biasa (PLB), dan Pengawas Pendidikan Agama. 3) Laporan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Walikota. Evaluasi atau penilaian dalam pelaksanaan pendidikan inklusif menurut buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif. Menyatakan bahwa dalam penilaian dalam setting inklusif ini mengacu pada model pengembangan kurikulum yang dipergunakan, yaitu: 1) Apabila menggunakan model kurikulum reguler penuh, maka penilaiannya menggunakan sistem penilaian yang berlaku pada sekolah reguler. 2) Jika menggunakan model kurikulum reguler dengan modifikasi, maka penilaiannya menggunakan sistem penilaian reguler yang telah dimodifikasi sekolah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa. 3) Apabila menggunakan kurikulum PPI, maka penilaiannya bersifat individu dan didasarkan pada kemampuan dasar (base line) (Direktorat PLB, 2007: 24).

 

 

3.3  Kriteria Efektivitas Program

Untuk pengukuran tingkat efektivitas program sekolah penyelenggara pendidikan inklusif diperlukan karakteristik atau ciri-ciri bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut berjalan secara efektif. Penyusunan kriteria ini disesuaikan dengan konsep efektivitas dan acuan efektivitas yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendarl Pendidikan Luar Biasa. Karakteristik atau ciri-ciri efektivitas program sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dikatakan efektif paling tidak jika memenuhi kriteria efektivitas. Istilah “kriteria” dalam penilaian sering dikenal dengan kata “tolok ukur” atau “standar” yaitu sesuatu yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal untuk sesuatu yang diukur (Suharsimi Arikunto dan Cepi Safaruddin Abdul Jabar, 2009: 30). Sedangkan menurut William N. Dunn, (2003: 429) menyatakan bahwa dengan kriteria keputusan dimaksudkan secara eksplisit sebagai nilai-nilai yang dinyatakan yang melandasi rekomendasi untuk tindakan. Oleh karena itu kriteria pendidikan inklusif mengacu pada buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif yang dikeluarkan oleh Direktorat PLB (Direktorat PLB, 2007: 29). Sebagai kriteria sekolah penyelenggara pendidikan inklusif sebagai berikut: a) Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua) b)Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah c) Tersedia guru pendidikan khusus (GPK) dari PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain) d) Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar e) Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan f) Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak g) Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusif h) Sekolah tersebut telah terakreditasi i) Memenuhi prosedur administrasi yang ditentukan.

4.      Perbedaan Pendidikan Segregasi, Pendidikan Terpadu, dan Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif hanya merupakan salah satu model penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Model yang lain diantaranya adalah sekolah segregasi dan pendidikan terpadu. Perbedaan ketiga model tersebut dapat diringkas sebagai berikut.

a. Pendidikan segregasi Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau 21 Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.

b. Pendidikan terpadu Pendidikan terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah 22 reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan sosial yang luas dan wajar.

 c. Pendidikan inklusif Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada pendidikan inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masingmasing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi (Direktorat PLB, 2007: 4-6).


Baca selengkapnya

Jumat, 09 Februari 2018

Menjadi Pegawai atau Berwirsausaha? Sekolah tinggi ujungnya cari kerja


Setelah lama tak menulis, kali ini saya mencoba kembali mengulik permasalahan kompleks yang dihadapi hampir semua orang terutama mereka yang memakan bangku sekolah. Tak perlu mengherankan lagi, banyak media menyoroti problematika mengenai “sulitnya cari kerja”, mulai dari jumlah terus meningkat setiap tahun sampai rincian jenis sekolah terakhir yang mereka tempuh.
Lalu muncul pertanyaan, siapakah yang paling berhak disalahkan?

Baca selengkapnya

Rabu, 22 November 2017

Motivasi Menulis untuk Mencari Uang dengan Berita Hoax


Semakin berkembangnya media komunikasi semakin banyak pula informasi bertaburan menghiasi penglihatan. Entah itu dalam bentuk visual ataupun tulisan,

kemudahan mencari informasi sering kali tidak diiringi dengan analisis yang mendalam, sehingga pengetahuan yang di dapat hanya sekedar “katanya” tanpa daya dukung yang memadai.

Hal tersebut lebih diperparah dengan semakin banyak orang yang memanfaatkan “tumpul” nya analisis, tanpa cek dan ricek masyarakat saat ini dengan membuat akun sosmed ataupun website informasi palsu.

Dalam forum “blogger” di facebook saya pernah mengutarakan sebuah kalimat, kurang lebih seperti ini “dilema blogger: menulis sepenuh hati atau menulis sepenuh gaji” walaupun sangat sepi respon, bisa dihitung jari, tapi tak ada satupun komentar yang mengelak akan fakta tersebut.

Cara Menulis agar mendapatkan uang?
Sejenak kalimat diatas menarik untuk ditelusuri, banyak sekali sumber yang mengatakan hal positif tentang “menulis = uang”. Fakta dilapangan, tak semudah itu, bahkan penulis ternama pun pasti bermula dari bawah. Membuktikan tidak ada hal “instan” di dunia ini bahkan mie instan pun masih perlu proses untuk layak di makan.

Cara instan mendapatkan uang itulah yang disalahgunakan para penulis dengan “motivasi” uang. Sehingga yang terjadi menulispun bukan karena kualitas tapi hanya sekedar menarik pembaca agar terpaksa membaca, hal tersebut bisa dilakukan dengan trik sebagai berikut: judul berlebihan, strategi SEO on page, riset keyword, konten syarat dengan pro dan kontra dan strategi marketing lainnya.

Alhasil menulis pun dikarenakan “agar banyak yang membaca dengan strategi tersebut, tanpa memperdulikan bahwa tulisannya hanyalah sampah tanpa analisis yang mendalam. Setelah banyak pembaca yang tertarik dengan konten kita, alhasil uang pun bisa diraih dengan banyaknya iklan yang bisa di monetize untuk mendulang rupiah.

Mendapatkan uang dengan Berita hoax
Berita hoax banyak sekali bertebaran di media sosial, saling hujat meng-hujat pun tak bisa dihindarkan. Banyak nitizen tetep “kekeh” dengan pendiriannya lantaran merasa benar dengan dukungan link website (URL) yang membenarkan argument mereka. Lawannya pun demikian memiliki dukungan tersendiri media dengan tulisan sepaham opini mereka. Alhasil pro dan kontra pun bisa dimanfaatkan untuk menulis di kolom berita agar terkesan mendukung salah satu pihak, dan menulis dengan sudut pandang yang berlawanan agar perdebatan tak kunjung usai.

Jelas sekali motivasi “harta karun” Nampak dengan mudah di gali dengan memanfaatkan isu yang kontradiktif.

Bisnis berita hoax memang sangat menggiurkan, “kompor gas” nya adalah kemalasan masyarakat untuk cek dan ricek terhadap informasi yang di dapat. Atau hanya ingin mendapatkan berita yang sesuai dengan selera keinginan mereka.

Temukan kembali makna tulisan sebelum di posting
Sebenarnya mudah saja ketika kita ingin ikut serta mencegah berita hoax propaganda, andai saja banyak kesadaran masyarakat menahan diri agar tidak serta merta menuliskan ujaran kebencian, atau setidaknya berita trending jangan langsung ikut campur tangan dengan cuitan kita. Tahan dulu, cari informasi yang sebenarnya, cari lagi dengan sudut pandang yang berbeda. Berbekal pengetahuan memadai silahkan ikut berkomentar.

Untuk para “kuli tinta” penulis kolom berita online, penulis blog, akun sosmed dengan jutaan followers temukan lagi makna tulisan kalian, atas dasar apa kalian “seharusnya” menulis itu. Kenapa bukan menulis dengan tema yang lain. Jika memang hanya atas dasar uang, jangan salahkan jika Negara ini tumbang karena manuver politik praktis murah meriah, yaitu dengan menggoreng fakta dengan bumbu micin hoax propaganda.


Kedepan jika pola berfikir “kita” masih tumpul seperti itu, bukan tidak mungkin situs ujaran kebencian makin marak menghiasi ranah internet kita. Kesadaran mengenai literasi informasi dan literasi digital sangat semu diperbincangkan memperparah filter informasi sebelum menyebar. Pola berfikir instan intelegensi dan sikap kritis mengikis kemampuan kecerdasan otak untuk menerima informasi dengan sudut pandang yang berbeda. 

#salamLiterasi
#salamAksara
Baca selengkapnya

Minggu, 19 November 2017

Pendidikan dan Kekinian untuk Generasi Z


Apa pengertian generasi Z
Menurut generasi teori menyebutkan ada beberapa tingkatan dalam membagi golongan generasi menurut tahun lahirnya, Generasi X, lahir 1965-1980,  Generasi Y, lahir 1981-1994, Generasi  Z, lahir 1995-2010, dan Generasi Alpha, lahir 2011-2025.

Generasi z merupakan kelanjutan dari generasi milenial, sejak kecil mereka sudah mengenal adanya internet dan social media. Perubahan – perubahan kecil pun tak bisa dihindarkan, mereka tidak lagi menggunakan Koran bahkan televisi sebagai sumber utama dalam mendapatkan informasi, namun menempatkan social media dan berita online pada urutan pertama dalam mendapatkan informasi.

Karakteristik generasi z
Cerdas teknologi, tak perlu diragukan mengenai kemampuan bermain teknologi, mereka besar dalam lingkungan perkembangan teknologi yang pesat. Bahkan tak jarang pula dikala orang tuanya sibuk dengan pekerjaan mereka diberi mainan smartphone oleh orang tuanya.

Berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi Y pertumbuhan teknologi baru tersentuh mulai sekolah menengah sampai sekolah atas, mereka tumbuh dewasa masih menggunakan permainan tradisional sebagai teman kecil mereka.

Sangat kontras sekali dengan generasi Z yang bahkan sudah memiliki akun social media sejak SD, menurut pakar IT (nukman luthfie) tipe generasi z ini bisa disebut sebagai generasi digital, dan terbagi menjadi dua kategori, yaitu tipe pembuat konten (creator) dan tipe memakai hanya sarana percakapan (conversationalist)

Kehidupan sosial, generasi z dalam sarana jejaring sosial lebih mengedepankan dunia maya sebagai sarana sosial kehidupan mereka. Mereka bisa menggunakan fecebook, twitter dan IG untuk sarana komunikasi.

Meskipun terkesan terkurung dalam dunia digital, potensi mereka jauh lebih baik dalam melihat peluang pekerjaan. Sejauh ini pandangan terhadap generasi z masih banyak menilai positif, mereka lebih serba bisa, berfikir global, berfikiran terbuka, lebih cepat terjun ke ranah pekerjaan dan yang pasti lebih ramah teknologi.

Berwawasan, mereka terkesan memiliki pandangan lebih terbuka dengan mudahnya sarana teknologi, informasi dari seluruh dunia pun mereka cepat tahu. Keberagaman menjadi hal unik dalam diri mereka, mereka terbiasa dengan memadukan bermacam kegiatan menjadi satu (multitasking) misalkan mendengarkan music, sambil membaca, dan sesekali menonton video.

Sebagai sarana komunikasi tersebut, mereka butuh konektivitas, banyaknya sosial media yang digunakan tak bisa lepas dari adanya konektivitas sebagai kebutuhan. Generasi z dinilai pertama kali generasi digital, smartphone dan social media tidak lagi dipandang hanya sebagai sebuah aplikasi dan plathform akan tetapi lebih dari itu. Mereka memandang sebagai cara hidup. Memang terdengar berlebihan tetapi banyak studi literature yang menyebutkan demikian.

Pendidikan generasi Z
Guru harus kekinian, guru sebagai ujung tombak pendidikan merupakan lentera perubahan “akan kemanakah generasi ini di bawa”, dengan adanya guru semua kebijakan pendidikan ataupun kurikulum dari pemerintah bisa tersampaikan kepada subyek pendidikan yaitu murid.

Sekarang ini generasi Z sudah memasuki dunia pendidikan awal hingga perguruan tinggi, generasi Z mendominasi semua “produk” pendidikan di sekolah manapun. Oleh karena itu pendidikan dan pembelajaran yang tidak bisa terpisahkan dari tugas berat guru harus bisa tersampaikan kepada generasi Z.

Memadukan teknologi dan pendidikan sudah saatnya dilakukan, jangan sampai generasi Z menilai bahwa pendidikan mengajarkan hal kuno, mengapa demikian? Mereka jauh lebih bisa mengetahui pengetahuan dari internet, bisa dibayangkan ketika guru masih menggunakan metode konvensional sebagai sarana belajar? Membosankan.

Pola pembelajaran kontekstual, pembelajaran kontekstual adalah memadukan teori dengan contoh rill yang nyata dalam kehidupan sehari – hari, guru bisa menggunakan cara tersebut untuk menarik respon siswa terhadap pembelajaran yang sedang berlangsung.

Kombinasi dengan IT jauh lebih baik, pembelajaran konseptual menuntut guru agar mencari contoh nyata tentu memakan waktu. Dengan kombinasi dengan pola pembelajaran berbasis teknologi tentu sangat memudahkan guru.

Aplikasi pembelajaran, fenomena smartphone bisa dimanfaatkan guru untuk sarana belajar, memang pemanfaatan smartphone masih sangat rentan oleh generasi Z, maka pola pembelajaran menggunakannya akan meminimalisisr efek negatif yang ditimbulkan.

Banyak sekali aplikasi pembelajaran berbasis smartphone yang bisa di gunakan guru, sebut saja google classroom, dengan aplikasi tersebut menghubungkan siswa dengan guru dengan fitur yang sangat mudah digunakan, tidak perlu repot dengan pembuatan aplikasi, dengan google classroom guru bisa menciptakan ruang kelas online secara gratis. Aplikasinya bisa di unduh melalui google play store.

_________________________________
Kenapa harus google classroom? (Karena itu skripsi saya) hehe. jadi mohon do’a restunya semoga cepat selesai. Insya Allah cara penggunaanya akan saya share dalam blog ini.


Salam ^_^
Baca selengkapnya

Sabtu, 18 November 2017

Pengertian Fitnah - Khutbah Jum'at Tentang Dajjal Bagian 1



Oleh: Ust. Muhammad Rahma Raziqin, M Pd.
Jabatan : dosen agama Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
Lokasi kutbah : Masjid Ibnu Sina Jl. Veteran Malang

Assalamu’alaikum wr. Wb.
Seluruh Fitnah yang ada di dunia sekarang ini, tidak ada apa-apanya di banding fitnah dajjal. Bahkan bisa dikatakan seluruh fitnah di dunia ini semuanya adalah fitnah yang muncul untuk menyambut dahsyatnya fitnah dajjal. Sayangnya tema tentang dajjal ini jarang dikupas, dan kalaupun dibahas dan dikupas seringkali dengan pembahasan yang kurang tepat.

Padahal Rasulullah SAW mengingatkan dalam sebuah hadits bahwa dajjal itu muncul justru ketika dia mulai jarang dibicarakan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam ahmad dari sahabat nabi rasulullah SAW bersabda yang artinya “dajjal itu tidak akan keluar sampai orang mulai melupakannya dan sampai para imam panutan – panutan agama sudah mulai meninggalkan pembicaraan di atas mimbar”. Ini perkataan nabi, ketika dajjal sudah jarang di bahas justru itu sangat menghawatirkan karena adalah zaman munculnya.

Logikanya bagaimana? Secara rasional mudah kita pahami, kalau dajjal ini sudah mulai jarang dibicarakan maka orang bisa jadi tidak kenal dajjal, dan kalau orang sudah tidak kenal dajjal maka orang bisa salah persepsi terhadap dajjal. Kalau sudah salah persepsi dengan dajjal, maka dia akan sangat mudah masuk dalam jeratan fitnah dajjal, mudah masuk dalam fitnahnya, akhirnya banyak orang yang ikut dengan dajjal bahkan orang islam.

Maka akan menjadi sangat penting untuk mengangkat tema ini pada mimbar – mimbar jumat agar kaum muslimin mengerti dahsyatnya fitnah dajjal ini kemudian bisa mewaspadainya.

Pertama, kita harus tahu terlebih dahulu apa itu definisi fitnah, apa yang dimaksud dengan fitnah, mengapa disebut dengan fitnah dajjal, fitnah yang dalam bahasa Indonesia adalah menuduh seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan, itu arti fitnah bahasa Indonesia.

Orang yang tidak mencuri kemudian dituduh mencuri padahal tidak mencuri maka itu dikatakan fitnah karena menuduh seseorang tidak sesuai dengan kenyataan, ini dalam bahasa Indonesia, kalau dalam pengertian syariat “syar’I” istilah fitnah bukan begitu maknanya, fitnah itu maknanya adalah segala sesuatu yang memalingkan seseorang dari jalan Allah. Makanya harta bisa menjadi fitnah , kita mungkin pernah mendengar istilah bahwa harta adalah fitnah, harta bisa berpotensi memalingkan seseorang menjadi terpalingkan dengan jalan Allah.

Jadi orang memiliki harta banyak tergoda untuk berjudi, tergoda untuk berzina tergoda untuk melakukan maksiat, itu fitnah harta. Fitnah wanita misalnya, dikatakan fitnah wanita karena wanita bagi lelaki bisa memalingkan seseorang dari jalan Allah, gara – gara wanita seseorang lelaki bisa terdorong untuk berbuat curang, bisa terdorong untuk berbuat korupsi bisa terdorong untuk berbuat selingkuh, bisa terdorong untuk meninggalkan kewajiban - kewajiban agama.

Oleh karena itu ketika dikatakan fitnah dajjal maksudnya adalah ketika sosok ini muncul, maka makhluk ini akan memalingkan manusia dari jalan Allah, kenapa memalingkan manusia dari jalan Allah? Kita ingat bahwa ketika dajjal ini muncul menurut hadits nabi, pertama dia mengaku sebagai orang sholeh, tampil sebagai orang baik, seolah – olah membela islam, lalu dia pengikutnya banyak, ketika pengikutnya sudah banyak maka dia akan mengaku sebagai nabi, dan saat dia mengaku sebagai nabi maka pengikutnya masih banyak tapi orang islam yang memiliki iman kuat mulai goncang, (kok ngaku sebagai nabi, kalau dia orang bener ga mungkin ngaku seorang nabi) ada yang keluar dari pengikut dajjal ada yang masih tetap menjadi pengikut dajjal. Tapi pengaruh dajjal akan menjadi sangat luas nantinya dan akhirnya nanti dia akan mengaku sebagai tuhan, ketika dia mengaku sebagai tuhan maka otomatis pengikutnya akan mempertuhankan dajjal. Dan kalau sudah demikian maka siapapun yang mengikutinya maka dia kafir.

Bahkan baru percaya bahwa dajjal mengaku sebagai nabi saja sudah kafir karena jika orang mengakui bahwa utusan Allah (terakhir) selain nabi Muhammad SAW maka dia kafir, karena rasulullah itu nabi terakhir, maka jika ada yang mengakui utusan terakhir selain rasulullah maka dia keluar dari Islam, itulah yang dinamakan fitnah, orang yahudi itu di akui sebagai kafir karena tidak mau mengakui bahwa nabi Muhammad itu utusan Allah, mereka juga percaya pada nabi musa, punya kitab suci bernama taurat bahkan percaya surga dan neraka, namun satu kesalahan dari orang yahudi itu tidak mau mengakui Muhammad SAW sebagai utusan Allah dan mengikutinya, kafir.

Maka dajjal itu muncul dan mengaku sebagai nabi dan jika orang islam percaya otomatis dia keluar dari islam, itulah yang dinamakan fitnah, apalagi kalau dia mengaku sebagai tuhan kemudian diikuti, jelas kekafirannya, siapa yang mempertuhan kan selain Allah maka dia kafir

maka kemudian rasulullah memberi peringatan, memberi tanda agar orang islam itu bisa mendeteksi adanya dajjal dengan tanda fisik yang sangat sederhana, perhatikan dia bahwa dajjal itu buta sebelah, dan TUHAN mu tidak buta sebelah. Ini cara mendeteksi dajjal paling mudah bagi orang awam. Kalau ada yang mengaku sebagai tuhan dan memiliki kemampuan ajaib yang macem – macem tapi buta sebelah maka dia pasti dajjal yang dimaksud nabi, sehingga orang islam bisa menghindarinya jangan sampai menjadi pengikut dajjal, itulah makna fitnah dalam syariat islam.

Hari ini umat islam harus mulai banyak diajak untuk mewaspadai fitnah dajjal ini karena masih banyak yang salah paham sebagai fitnah, salah pahamnya banyak sehingga dihawatirkan ketika dajjal itu benar – benar muncul sebagai fitnah, mereka tidak bisa mengetahui bahwa dajjal ini adalah fitnah yang dimaksud nabi atau tidak.

Tunggu kelanjutannya.... Pengertian dajjal - Khutbah Jum'at Tentang Dajjal Bagian 2

Wallahu alam bishawab
Baca selengkapnya

Jumat, 17 November 2017

Fenomena Remaja Saat ini (Kering Akidah Islam)

Entah disadari atau tidak diluar sana banyak sekali fenomena kaum hedonis yang semakin kekinian semakin amburadul. Definisi gaul saat ini sudah banyak melewati batas wajar. Seperti dalam gurun pasir yang tandus, mereka terus berusaha mencari air, namun itulah yang dinamakan “fatamorgana” air yang mereka minum hanyalah ilusi, sebuah kesia – siaan yang haqiqi. Mereka tidak menyadari hanya berada dalam gurun yang tandus, kering akan akidah islam, jauh dari “air” yang sebenarnya, maka disadari atau tidak jika tidak ada yang menyelamatkan mereka menuju kebenaran, bisa jadi semakin terjerumus ke dalam masa penyesalan.

Zaman boleh berubah, namun akidah tidak bisa ditawar – tawar mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya zaman lah yang harus beradaptasi dengan akidah. Jika kalian menemukan jenis definisi gaul yang sedang trending, coba kembalikan ke akidah terlebih dahulu, jika memang masih bisa di toleransi oke lah “lanjut” kalau memang terbukti tidak sesuai, maka “jangan”. Itulah yang jarang diketahui anak muda jaman sekarang, asal ngikut aja pokoknya “gue gaul” inimah masih sebatas wajar? Tatoan, ngomong anj##g, dsb masih wajar? What!

Tantangan pemuda islam di era globalisasi atau era generasi millennial “zaman now” memanglah sangat berat, berbeda dengan generasi sebelumnya, saat ini pergaulan tidak bisa dengan mudah terdeteksi, komunikasi dengan siapapun bisa menggunakan smartphone, aplikasi canggih yang tidak bisa di ketahui oleh orang tua pun makin marak digunakan sebagai sarana komunikasi.

Fenomena remaja saat ini, merupakan tugas yang berat atas dasar peradaban, bagaimana tidak, pacaran, seks bebas, pakaian yang tak pantas pun semakin dianggap wajar dikarena maraknya fenomena itu terjadi, maka semakin banyak yang melakukan hal tersebut bisa dianggap sebagai hal yang wajar terjadi “namanya anak muda”.

Cepat dewasa sebelum waktunya
Penampilan anak muda jaman sekarang tidak bisa di bedakan dengan orang dewasa, coba kita lihat kebanyakan anak SMA sederajat saat ini, pakaiannya wihh bikin hemm, entah apa maksud mereka, saya pun berfikir buat apa sih gaya penampilan anak muda sekarang itu seperti melampaui orang dewasa, untuk menarik perhatian? Atau sekedar mengikuti gaya hidup?.

Ada yang nanya ke saya, (tapi elu kan juga seneng liatnya?), wajarlah namanya cowok normal :v, tapi lebih banyak nelangsa (ngelus dodo) mau jadi apa sih mereka nanti, seles rokok, atau pekerja esek – esek, jujur saja prihatin :’(.

Fenomena “budak” smartphone
Menjadi seorang yang up to date membutuhkan jaringan informasi yang luas, penggunaan sarana media komunikasi semakin meriah dengan adanya smartphone dengan spek dewa, Indonesia merupakan salah satu pasar mobile terbesar dunia, tak heran semua remaja kekinian pasti memiliki dambaan dalam genggaman tersebut.

Namun bukannya menggunakan dengan bijak dan cerdas, remaja masa kini memiliki perangkat pintar tersebut sebagai gaya hidup mereka, tak heran jika banyak penyalahgunaan sarana komunikasi tersebut seperti menjauhkan yang dekat dan sebaliknya mendekatkan yang jauh. Sekarang mulai banyak poster di halte bus atau tempat umum lain bertuliskan “tidak ada WIFI, ngobrol dengan teman atau samping mu” hal tersebut wajar menyusul keresahan lebih mesra dengan HP nya melupakan arti bersosial sesungguhnya.

Anak muda jaman sekarang “pacaran”
Pacaran adalah sebuah kata yang biasa di dengar para remaja kita, cinta memang hal fitrah kepada lawan jenis, dan cinta adalah suci, namun di saat pengguna mengatasnamakan “cinta” kepada hal yang berhubungan dengan nafsu, maka sudah rancu definisi suci tadi. Pergaulan bebas remaja saat ini memang tidak bisa dianggap enteng begitu saja, baik buruknya mereka tidak lain generasi penerus bangsa.

Memang banyak yang menganggap pacaran itu ada manfaatnya, well lebih tepatnya gerbang menuju maksiat, banyak banget salah pergaulan remaja saat ini bermula dari sebuah cinta, lalu kebablasan, akhirnya jebol deh tanggulnya. Klo sudah gitu siapa yang salah?

Gaul menurut islam
Maka sudah saatnya kita melihat kembali, pergaulan bebas dan kenakalan remaja saat ini sudah dipastikan karena rapuhnya pondasi islam dalam diri mereka, bisa dipastikan akidah islam rapuh dan kering sebagai bingkai kehidupan sosial pemuda saat ini.

Gaul boleh saja, tapi saat definisi gaul itu menjadikan mu bukan lagi sebagai pemuda islam, terus situ mau jadi budak hedonis kekinian yang semakin larut dengan zaman

Tantangan remaja islam zaman now memang bukan lagi dianggap enteng, bahkan rasulullah pernah berpesan bahwa islam datang dengan asing dan di akhir zaman nanti islam akan kembali dianggap asing.


Apakah kita sebagian dari mereka?
Baca selengkapnya